B0319001 ‘Afifah Khairunnisa’ Penulis Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya
A. LATAR BELAKANG
Posisi seorang guru sebagai tenaga pendidik seringkali berada pada posisi yang dilematis,
antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mampu
mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun di sisi lain, tatkala para
guru berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan
Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan
peserta didiknya dan gagal mengantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan,
sebagai pendidik guru acapkali dituding menjadi biangnya atas kegagalan tersebut. Persoalan
yang paling krusial dihadapi oleh seorang guru adalah tatkala mereka harus memberikan
hukuman kepada peserta didik yang melanggar tata tertib dan aturan sekolah dalam rangka
menegakkan kedisiplinan, acapkali orang tua dan masyarakat menilainya sebagai tindakan
melanggar hak asasi manusia atau melanggar UU Perlindungan Anak. Mereka dengan
mudahnya melaporkan tindakan guru tersebut kepada penegak hukum (baca: polisi atau
KPAI). Akibatnya, dalam menjalankan tugas profesinya guru seringkali berada pada posisi
dilematis dan bahkan rentan untuk dikriminalisasi.
Untuk itu pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pelaksanaan dari pasal 39
ayat (1) UUGD di atas, yang secara teknis mengatur perlindungan hukum terhadap guru
dalam menjalankan tugas profesinya. Peraturan pelaksanaan tersebut harus secara tegas
mengatur mengenai apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh (dilarang)
dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta didiknya dalam memberikan sanksi disiplin.
Tujuannya, agar di satu sisi guru dapat bekerja profesional tanpa takut dikriminalisasi, dan
sebaliknya, melalui peraturan tersebut penegak hukum dan masyarakat juga mempunyai
standar atau pedoman yang sama untuk menilai apakah tindakan guru kepada peserta didik
dalam memberikan sanksi itu sesuai aturan atau melanggar aturan. Sanksi disiplin itu tentu
saja harus bersifat mendidik.
Di media sosial sering ramai diberitakan seorang guru yang diadukan oleh orang tua
murid karena dianggap telah kekerasan fisik dan psikis terhadap muridnya, juga berita tentang
guru yang telah dianiaya dan dikeroyok oleh orang tua murid. Guru dilaporkan melanggar
hak perlindungan anak ketika ketika memberikan sanksi pelanggaran displin terhadap siswa,
seperti dijewer, dipukul, dibentak, disuruh lari mengililingi halaman sekolah, disuruh push up
beberapa kali, disuruh menghormat bendera dalam kondisi cuaca panassampai akhir pelajaran,
membersihkan toilet, dan sebagainya. Jenis-jenis hukuman disiplin seperti yang masa lampau
dianggap biasa atau lumrah dalam dunia pendidikan, sat ini dinilai tidak lagi mendidik dan
bahkan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak. Sanksi disiplin seperti itu,
Wijiatmo. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Guru Dalam Hal…
dulu tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi kini guru harus semakin hati-hati
dalam memberikan hukuman disiplin kepada siswa. Hukuman disiplin yang diberikan kepada
siswa harus berpedoman kepada tata tertib sekolah dan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan
Anak. Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibahas mengenai Kebijakan hukum pidana
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap guru dalam hal kedisplinan. jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29200
B. TUJUAN ARTIKEL ILMIAH
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam memberikan perlindungan hukum terhadap guru khususnya yang menyangkut dalam mengajarkan kedisiplinan pada siswa. jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29200
C. PEMBAHASAN
Tindakan guru dalam menjalankan profesinya yakni mendidik siswa dengan cara
mendisiplinkan siswa dari perbuatan yang keluar dari nilai pendidikan yang diajarkan,
bukanlah suatu perbuatan pidana, baik berupa pelanggaran ataupun kejahatan. Sementara itu guru saat mendidik siswa khususnya dalam rangka mengajarkan sebuah kedisiplinan, dihadapkan pada kenyataan bahwa tindakannya itu ( kedisiplinan ) yang dinilai sebagai kekerasan yang berakhir di pengadilan atau penjara.
Pasal-pasal yang dikenakan terhadap tindakan guru dalam mendidik kedisiplin
diantaranya, adalah :
1. Pasal 58 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM secara spesifik memberikan perlindungan terhadap kekerasan terhadap anak “setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selam dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.”
2. Pasal 33 Undang-undang no. 23 tahun 2002 pasal 3 adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
3. Pasal 9 ayat 1a Undang Undang No.35 Tahun 2014 mengatakan bahwa “setiap anak
berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan
kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik,
dan/atau pihak lain.”
4. Pasal 54 ayat 1 menyebutkan bahwa “anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dan tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
5. Pasal 1 ayat 15a mendefinisikan bahwa “kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”
Pandangan Islam hukuman merupakan sebuah pendidikan . Hukuman yang dimaksud
bukanlah hukuman dengan niat untuk balas dendam maupun emosional. Selain hukuman dilakukan dengan tujuan pendidikan hukuman yang berikan juga bertahap, menurut Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid tahap pertama dalam hukuman adalah memperlihatkan cambuk kepada anak, maknanya adalah ancaman jika tetap mengulangi kesalahan yang sama, kedua adalah menjewer daun telinga, tahap ini bermaksud mengenalkan resiko kepada anak yang telah melakukan kesalahan, ketiga adalah memukul anak. Pada tahap hukuman memukul Islam mengatur bahwa pukulan tidak dilakukan sembarangan namun memiliki beberapa aturan diantaranya: memukul dimulai pada usia 10 tahun; jumlah pukulan tidak boleh lebih dari sepuluh kali, pendapat lain menyatakan pukulan maksimal adalah tiga kali; memperhatikan alat dan cara memukul, serta tempat yang dipukul; tidak boleh memukul disertai amarah; berhenti memukul apabila anak menyebut nama Allah.
Semangat pendidikan nasional dan pandangan Islam terlihat bertentangan dengan hukum yang melindungi anak. Hal ini tentu menimbulkan kebuntuan bagi para guru dan seluruh civitas akademik dari tingkat satuan pendidikan hingga kementerian. Bahkan, pernyataan Mendikbud yang dikutip dari BBC.com yang mengatakan bahwa “sanksi fisik dapat ditoleransi” menuai banyak protes.
Jawaban dari kebuntuan ini sebenarnya sangat sederhana secara konsep, yaitu
mengembalikan kepada tujuan pendidikan. Pendidikan memiliki tujuan yang jelas
sebagaimana dipaparkan di atas, untuk mencapai tujuan tersebut tentu para ahli dalam
pendidikan mengetahui, sehingga dibuatkan kurikulum dan seluruh perangkat pendukungnya.
Jika memang dengan melaksanakan hukuman fisik mampu mencapai tujuan pendidikan kenapa tidak dilakukan. Sedangkan HAM dan undang-undang perlindungan anak memiliki tujuan untuk melindungi anak menjadi korban kekerasan mulai dari fisik, psikis hingga seksual. Apabila pendidikan dapat mencapai tujuannya yaitu mencetak manusia yang cerdas dan juga memiliki akhlak yang mulia, maka HAM dan anak-akan pun pasti akan terlindungi karena anak-anak akan memperoleh pendidikan dari orang-orang dan lingkungan yang baik.
Kemudian dari sudut pandang konteks undang-undang kekerasan yang dimaksud oleh undang-undang HAM dan pelindungan anak merupakan kekerasan dalam konteks kejahatan, sedangkan hukuman fisik dalam konteks pendidikan adalah hukuman yang dilandasi rasa kasih sayang, dalam rangka membangun karakter disiplin dan tanggungjawab. Kedua hal tersebut bisa saling sinergi dalam satu tujuan yaitu mencetak manusia cerdas yang memiliki akhlak mulia, untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan dan kekerasan dari manusiamanusia yang tidak beriman, tidak cerdas dan tidak berakhlak mulia.
Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, Jumat (12/8/2016), guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Hal itu diputuskan saat mengadili guru dari Majalengka,
Jawa Barat, SD Aop Saopudin (31). Kala itu, Aop mendisiplinkan empat siswanya yang
berambut gondrong dengan mencukur rambut siswa tersebut pada Maret 2012. Salah seorang siswa tidak terima dan melabrak Aop dengan memukulnya. Aop juga dicukur balik. Meski sempat didemo para guru, polisi dan jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan.
Aop dikenakan pasal berlapis, yaitu :
1. Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak.
Pasal itu berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
2. Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan
Tinggi (PT) Bandung. Tapi oleh MA, hukuman itu dianulir dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Dr Salman Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono. Ketiganya membebaskan Aop karena sebagai guru Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya adalah: “Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.
Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP itu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut. “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya,” bunyi Pasal 39 ayat 1. Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. “Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing,” papar Pasal 40. Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja. “Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain,” tegas Pasal 41.Kekerasan yang dijadikan dasar untuk membawa guru ke meja hijau menimbulkan beberapa pandangan. Sementara itu dalam beberapa isitlah di jelaskan sebagai berikut :
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, kekerasan adalah perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barangorang lain. Sedangkan menurut Kamus Webster mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatanfisik
untuk melukai atau menganiaya, perlakuan atau prosedur yang kasar serta keras. Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek.
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan. Memang diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.
Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial.
Politik hukum membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusaha agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru.
Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundangundangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy).
Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni : a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana; b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif atau yudisial) yaitu tahap penerapan hukum pidana; c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau administratif) yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29200
D. KESIMPULAN
Di dalam Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) pada dasarnya bertujuan baik,
yaitu untuk melindungi anak dari tindak kekekerasan dan kesewenang-wenangan. Walau demikian, UUPA jangan sampai menyandera guru dalam mendidik anak didiknya melalui cara kedisiplinan. Setiap guru memiliki kehendak yang mulia, yakni agar setiap anak didiknya menjadi anak yang tertib,disiplin, cerdas, terampil, dan memiliki budi pekerti luhur.
Untuk itu, perlu adanya komunikasi yang baik antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Mensosialisasikan tata tertib sekolah, dan jika ada masalah yang menimpa anak didik di sekolah, mengedepankan penyelesaian secara damai atau kekeluargaan, dan sebisa mungkin dihindari penyelesaian secara hukum. Disamping itu, perlu adanya sosialisasi dan kesepahaman bersama antara orang tua, guru, dan siswanya itu sendiri terhadap peran, hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan UUPA. jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29200
Sumber: jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/29200
https://uns.ac.id https://jurnal.uns.ac.id https://fib.uns.ac.id https://fisip.uns.ac.id https://hukum.uns.ac.id https://feb.uns.ac.id https://fk.uns.ac.id https://fp.uns.ac.id https://ft.uns.ac.id https://fkip.uns.ac.id https://mipa.uns.ac.id https://fkor.uns.ac.id